Keadilan Pendidikan dan Zonasi Sekolah
Akhir Mei lalu terjadi peristiwa menggemparkan di Blitar, Jawa Timur. Seorang siswi SMP berprestasi memutuskan bunuh diri setelah tahu, bahwa dia tidak akan bisa mendaftar ke SMA favorit terbaik di daerah itu. Penyebabnya adalah sistem zonasi, dia yang tinggal di Kabupaten Blitar kecil peluangnya bersekolah di Kota Blitar.
Dalam keterangan resminya, Kementerian Pendidikan Nasional menyatakan sistem zonasi ditetapkan pemerintah sebagai upaya pemerataan akses pendidikan dan menghilangkan status sekolah favorit atau bukan. Setiap sekolah diharuskan menerima minimal 90 persen siswa dari area sekitarnya, dan hanya 5 persen kuota untuk calon siswa dari luar zona.
Pada praktiknya, dengan zonasi siswa diarahkan memilih sekolah negeri yang dekat dengan rumah. Sekolah bagus juga “dipaksa” menerima siswa dengan prestasi rendah, yang tinggal di dekat lokasinya untuk mengurangi beban biaya transportasi dan menciptakan keadilan akses pendidikan.
Namun, sistem ini terus menimbulkan masalah. Ada daerah yang menerapkan penambahan poin, memakai sistem 3 gelombang penerimaan hingga menetapkan jalur-jalur khusus berdasar pertimbangan tertentu. Bagi sebagian orang tua, aturan-aturan yang ditetapkan dianggap terlalu rumit dan merepotkan. “Daripada pusing, saya pilih memasukkan anak ke sekolah swasta saja. Sekarang sudah diterima karena lebih duluan jadwal pendaftarannya,” kata Ardiana yang anaknya masuk SMP tahun ini.
Widyaningsih, warga Sleman, DI Yogyakarta yang juga memasukkan anaknya ke SMP tahun ini, mencari sekolah untuk anak menjadi proses yang melelahkan. “Yang sekolah anaknya, yang tegang dan capek orang tuanya,” ujarnya.
Budhi Masturi, Kepala Ombudsman RI Kantor Perwakilan DIY-Jateng menilai, tahun ini proses pemerimaan siswa baru di sekolah yang akan dimulai awal Juli nanti, berpotensi memiliki kerumitan yang sama.
"Melihat tahun lalu potensi permasalan yang mungkin muncul itu soal zonasi. Tahun lalu kita belum punya instrumen untuk mengukur zonasi, sehingga yang di lapangan muncul kreatifitas, misalnya kepala sekolah atau dinas menggunakan GPS atau surat keterangan kepala desa. Selain itu, kuota juga akan mungkin jadi masalah. Ada kuota untuk masyarakat pra sejahtera. Karena negara harus memberikan keadilan akses pendidikan, tetapi itu tahun lalu itu membuat sekolah favorit tidak terpenuhi kuotanya," ujarnya.
Tidak seperti sejumlah daerah yang ketat menggunakan batas administrasi kewilayahan sebagai panduan zonasi, DI Yogyakarta tahun ini merubah aturan. Calon siswa boleh melewati batas wilayah asal sekolah yang dituju tetap berada dalam radius 5 kilometer dari rumahnya.
Hal itu disampaikan Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga DI Yogyakarta, Kadarmanta Baskara Aji. "Tahun ini ada perubahan aturan, di dalam Peraturan Menteri menyebutkan terkait zonasi dan daring (online) boleh dilaksanakan secara bertahap oleh daerah sesuai kondisi. Tahun ini dan kemarin zona membaginya berbeda. Misalnya untuk SMA, tahun kemarin zona itu batasnya memakai wilayah administrasi, sekarang menggunakan jarak, karena yang dimaui oleh Peraturan Menteri itu memang jarak, bukan wilayah administrasi," jelasnya.
Zonasi yang ditetapkan pemerintah Yogyakarta tidak seluruhnya berjarak 5 kilometer dari rumah siswa. Dalam kasus dimana tidak ada sekolah dalam radius tersebut, zonasi bisa berlaku hingga jarak 12 kilometer.
Setiap tahun, Yogyakarta meluluskan sekitar 41 ribu siswa dari SMP/MTs. Daya tampung SMA/SMK kurang lebih pada angka yang sama. Jika ditambah dengan sekolah swasta daya tampungnya menjadi 45 ribu siswa. Dari jumlah itu, diketahui bahwa setiap tahun sekitar 4 ribu siswa SMA atau sederajat datang dari luar wilayah.
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Heru Purnomo mengakui, sistem zonasi menambah panjang daftar beban bagi siswa. Ketika sekolah, siswa di Indonesia dibebani dengan kurikulum yang sangat berat. Peraturan mengenai zonasi menjadi beban tambahan ketika mereka lulus, karena hasil belajar dengan kurikulum yang berat itu ternyata tidak menjamin bisa bersekolah sesuai pilihan karena problem aturan.
"Setiap siswa berhak untuk mengembangkan diri, tetapi kadang hak itu dibatas oleh aturan. Nah, aturan ini yang seharusnya memberikan fleksibilitas berdasar dinamika yang ada, sehingga bisa merespon keinginan seperti itu," kata Heru kepada VOA.
Heru mengatakan, kasus di Blitar sebenarnya terjadi di banyak tempat lain, meskipun tidak berakhir dengan bunuh diri siswa. Dia memberi contoh, ada siswa yang tidak bisa masuk ke sekolah yang dekat dengan rumahnya, karena perbedaan kabupaten. Akhirnya dia harus memilih sekolah lain yang jauh, tetapi dimungkinkan oleh aturan yang ada.
Dalam sejumlah kasus, kata Heru, aturan yang terlalu kaku membelenggu siswa dan mempengaruhi semangat belajarnya.
"Karena mempunyai keinginan tetapi dibatasi oleh aturan, siswa berpikir, buat apa belajar sungguh-sungguh kalau kemudian tidak bisa mendaftar di sekolah favorit. Maka pemerintah harus bersikap, berikanlah sekian persen kapada anak diluar zona untuk bisa berkompetisi. Kalau ada peluang, kemudian bisa mencoba. Kalau seandainya kalah, dia bisa menyadari bahwa sudah berjuang dan kalah. Kalau belum berjuang sudah dibatasi, artinya itu disingkirkan," paparnya.
Meski diatur melalui Peraturan Menteri, di Indonesia sistem pendaftaran siswa baru berbeda di masing-masing daerah. Tidak hanya itu, kecenderungan perubahan aturan setiap tahun ajaran baru, membuat sistem ini sulit dipahami. “Kita sering dianggap kurang sosialisasi, padahal bukan kurang, tetapi karena memang aturan tahun lalu, berbeda dengan tahun ini," tambah Kepala Dinas Pendidikan Yogyakarta, Kadarmanta Baskara Aji. [ns/em]